Pemberdayaan karyawan bermakna lebih luas ketimbang
istilah partisipasi karyawan. Dalam pemberdayaan terdapat pendelegasian
wewenang yang diberikan kepada karyawan tertentu dalam pengambilan keputusan
sejauh tidak menyimpang dari kebijakan organisasi. Misalnya ketika pimpinan
berhalangan mengkoordinasi rapat tim kerja di unitnya maka dia bisa
mendelegasikan kepada seseorang yang dianggap pantas (memiliki kemampuan manajerial dan kepemimpinan)
untuk memimpin sebuah rapat. Atau bisa berupa pendelegasian pada ketua tim kerja
subunit tetentu untuk menyusun dan mengatur kegiatan dan jadwal kerja. Jadi
tampak pemberdayaan karyawan berimplikasi pada kebebasan dan kemampuan karyawan
tertentu untuk membuat keputusan dan komitmen; tidak sekedar hanya berbagi
informasi dan saran-saran.
Pemberdayaan menyangkut tentang kewenangan dan penguatan otoritas dari karyawan tertentu. Pasalnya karena adanya kepercayaan dari pihak manajemen kepada karyawan. Wood, Wallace dan Zeffane dalam Widodo Sunaryo (2009) mengemukakan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah pengembangan mentalitas “mampu berkarya” yang positif dalam diri karyawan (creating a positive “can do” mentality among employees). Mentalitas “mampu berkarya” ini tumbuh dari keyakinan diri para karyawan akan kemampuannya untuk berkarya pada pekerjaannya (self-efficacy). Keyakinan ini ditumbuhkan melalui proses pengembangan kompetensi-kompetensi karyawan, pemberian dorongan dan persuasi terus menerus, serta dukungan emosional dan keteladanan (modelling) dari para pimpinan di dalam kancah kegiatan kerja para karyawan sehari-hari. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemberdayaan adalah aktivitas yang terfokus pada pemberian kekeluasaan (liberating), bukan pengendalian (controlling), kepada karyawan untuk mengaktualisasikan energinya, dan untuk menselaraskan (balancing) pencapaian tujuan pribadi karyawan (pengembangan diri, kesejahteraan, dan lain-lain) dan tujuan yang ditetapkan organisasi (produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan lain-lain).
Pemberdayaan menyangkut tentang kewenangan dan penguatan otoritas dari karyawan tertentu. Pasalnya karena adanya kepercayaan dari pihak manajemen kepada karyawan. Wood, Wallace dan Zeffane dalam Widodo Sunaryo (2009) mengemukakan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah pengembangan mentalitas “mampu berkarya” yang positif dalam diri karyawan (creating a positive “can do” mentality among employees). Mentalitas “mampu berkarya” ini tumbuh dari keyakinan diri para karyawan akan kemampuannya untuk berkarya pada pekerjaannya (self-efficacy). Keyakinan ini ditumbuhkan melalui proses pengembangan kompetensi-kompetensi karyawan, pemberian dorongan dan persuasi terus menerus, serta dukungan emosional dan keteladanan (modelling) dari para pimpinan di dalam kancah kegiatan kerja para karyawan sehari-hari. Selanjutnya dikemukakan bahwa pemberdayaan adalah aktivitas yang terfokus pada pemberian kekeluasaan (liberating), bukan pengendalian (controlling), kepada karyawan untuk mengaktualisasikan energinya, dan untuk menselaraskan (balancing) pencapaian tujuan pribadi karyawan (pengembangan diri, kesejahteraan, dan lain-lain) dan tujuan yang ditetapkan organisasi (produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan lain-lain).
Hal senada dikemukakan oleh Gibson dalam Widodo Sunaryo (2009) bahwa pemberdayaan karyawan (individual
empowerment) adalah pemberian kesempatan dan dorongan kepada para karyawan
untuk mendayagunakan bakat, ketrampilan-ketrampilan, sumberdaya-sumberdaya, dan
pengalaman-pengalaman mereka untuk menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu.
Hasil-hasil yang dicapai dalam menerapkan konsep pemberdayaan di berbagai
perusahaan adalah peningkatan efisiensi dan kualitas dalam produksi dan
pelayanan.
Walau pemberdayaan merupakan proses pembelajaran
bagi karyawan namun dalam prakteknya tidak semua organisasi sudah melakukannya. Kalau memang ada
tetapi tidak semua pengambilan keputusan sisi kebijakan diberikan kepada
karyawan. Beberapa hal yang sangat strategis seperti penyusunan anggaran
program, perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia, perekrutan dan penseleksian
karyawan, masih merupakan keputusan pihak manajemen atau pimpinan.
Ada beberapa model atau strategi dalam
kaitannya dengan upaya pemberdayaan karyawan, antara lain : pendapat dari Nur
Rachmawati Lubis (2011) yaitu dengan strategi Coaching dan counceling, model
kepemimpinan situasionalnya Hersey dan Blanchard yaitu upaya untuk
memberdayakan karyawan melalui peningkatan “kemampuan dan kemauan” karyawan dan
model yang dikemukakan oleh Syarafat Khan.
Proses
coaching dan counseling seringkali dilakukan dalam waktu yang
bersamaan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang mendasar di antara kedua
proses ini. Sebagai proses yang bertujuan membantu karyawan agar bisa
menunjukkan kinerja yang optimal, coaching dan counseling
dibedakan berdasarkan jenis sumber masalah yang menghambat kinerja seseorang.
Coaching merupakan sebuah proses bantuan yang dilakukan ketika
karyawan mengalami masalah kinerja yang disebabkan oleh keterbatasan
pemahaman terhadap tugasnya. Sedangkan Counseling,
merupakan proses bantuan yang dilakukan ketika karyawan mengalami masalah
kinerja disebabkan oleh adanya masalah dalam kehidupan pribadinya. Kebanyakan pemimpin menganggap coaching dan counseling
sebagai satu hal, atau bahkan tertukar antara konsep coaching dan counseling.
Strategi pemberdayaan karyawan lainnya
adalah dengan penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan level kematangan
pengikut yaitu Model kepempinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Model
ini mengungkap kan bagaimana pemimpin berupaya untuk meningkatkan level
“kematangan’ yaitu “kemampuan” dan “kemauan” karyawan dalam pelaksanaan tugas
pekerjaan yang dibebankannya. Model ini mengemukakan bahwa untuk meningkatkan
level kematangan seseorang adalah dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang
sesuai dengan level kematangan orang tersebut. Ada empat gaya kepemimpinan yang
diyakini oleh Hersey dan Blanchard mampu mengatasi persoalan karyawan yaitu
meningkatkan level kematangan bawahan (= terberdayanya karyawan), jika
diterapkan secara konsisten sesuai denganlevel kematangan pengikut.
Sharafat
khan dalam Syafrizal Helmi, menawarkan suatu model pemberdayaan yang merupakan
serangkaian proses yang dilakukan secara bertahap. Model tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Desire.
Tahap pertama dalam model empowerment adalah adanya keinginan dari
manajemen untuk mendelegasikan dan melibatkan pekerja. Yang termasuk hal ini
antara lain :
- Pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang.
- Memperkecil directivepersonality dan memperluas keterlibatan pekerja.
- Mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi kerja.
- Menggambarkan keahlian team dan melatih karyawan untuk
menguasai sendiri (self – control )
2. Trust. Setelah adanya keinginan
dari manajemen untuk melakukan pemberdayaan, langkah selanjutnya adalah
membangun kepercayaan antar manajemen dan karyawan. Adanya saling percaya antara anggota organisasi
akan tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa
adanya rasa takut. Hal – hal yang termasuk dalam trust
antara lain :
- Memberi kesempatan pada karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
- Menyediakan waktu dan sumber daya yang mencukupi bagi karyawan dalam menyelesaikan kerja.
- Menyediakan pelatihan yang mencukupi
bagi kebutuhan kerja.
- Menghargai perbedaan pandangan dan
menghargai kesuksesan yang diraih oleh karyawan.
- Menyediakan akses informasi yang
cukup.
3. Confident. Langkah selanjutnya setelah adanya saling
percaya adalah menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai
terhadap kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal – hal yang termasuk
tindakan yang dapat menimbulkan confident antara lain :
- Mendelegasikan tugas yang penting terhadap karyawan.
- Menggali ide dan saran dari karyawan.
- Memperluas tugas dan membangun jaringan antar departemen.
- Menyediakan jadwal job instruction dan mendorong penyelesaian yang baik.
4. Credibility. Langkah keempat menjaga kredibilitas dengan
penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang
sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki performance yang tinggi. Hal yang termasuk credibility antara lain :
- Memandang karyawan sebagai partner strategis
- Peningkatan target di semua bagian
pekerjaan
- Memperkenalkan inisiatif individu
untuk melakukan perubahan melalui partisipasi
- Membantu menyelesaikan perbedaan
dalam penentuan tujuan dan priorotas
5. Accountibility Tahap dalam proses pemberdayaan
selanjutnya adalah pertanggung jawaban karyawan pada wewenang yang diberikan.
Dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan tujuan
tentang penilaian terhadap kinerja karyawan, tahap ini sebagai sarana evaluasi
terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap
wewenang yang diberikan. Hal yang termasuk
accountability antara lain :
1. Menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan
2. Memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas
3. Melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran
4. Memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikan beban kerjanya
5. Menyediakan periode dan waktu pemberian feedback
6. Communication. Langkah terakhir adalah adanya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan saling memahami antar karyawan dan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam communication antara lain :
1. Menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan
2. Memberikan tugas yang jelas dan ukuran yang jelas
3. Melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran
4. Memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikan beban kerjanya
5. Menyediakan periode dan waktu pemberian feedback
6. Communication. Langkah terakhir adalah adanya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan saling memahami antar karyawan dan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam communication antara lain :
- Menetapkan kebijakan open door communication
- Menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendistribusikan permasalahan secara terbuka
- Menciptakan kesempatan untuk cross – training
Pemberdayaan karyawan difokuskan ke karyawan,
tingkat terbawah dalam setiap organisasi. Jika dalam organisasi tradisional,
karyawan tidak diperhitungkan dalam pembagian kekuasaan (power distribution), dengan pemberdayaan
karyawan, kekuasaan justru digali dari dalam diri karyawan
Pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang
kepada karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan
tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan
otorisasi secara eksplisit dari manajer di atasnya. Jika di dalam pendelegasian
wewenang, kekuasaan diberikan oleh manajemen puncak kepada para manajer di
bawahnya (bukan kepada karyawan), dalam pemberdayaan karyawan, kekuasaan digali
dari dalam diri setiap karyawan melalui proses pemberdayaan karyawan (employee empowerment). Pemberian
wewenang oleh manajemen kepada karyawan dilandasi oleh keberdayaan karyawan
yang dihasilkan dari proses pemberdayaan yang dilaksanakan oleh manajemen
terhadap karyawan.
Oleh karena pemberdayaan karyawan dilaksanakan
dengan menggali potensi yang terdapat di dalam diri karyawan, maka pemberdayaan
berarti pengembangan kekuasaan, bukan sekadar pendistribusian kekuasaan yang
telah ada dan yang telah dimiliki oleh manajemen. Dengan kata lain,
pemberdayaan karyawan memberikan keleluasaan kepada karyawan untuk melakukan
perencanaan dan pengambilan keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung
jawab mereka. Sedangkan pendelegasian wewenang memberikan kekuasaan yang telah dimiliki oleh manajemen
tingkat atas untuk didistribusikan ke manajemen di bawahnya.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan pelepasan
atau pembebasan, bukan pengendalian energi manusia sebagaimana yang
dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang.
Keyakinan Dasar yang Melandasi Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika
dilandasi oleh tiga keyakinan dasar berikut ini:
a.
Subsidarity. Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa badan yang lebih
tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus
dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah. Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang
merupakan suatu kesalahan karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut
tidak terampil.
b.
Karyawan pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah
keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Pemberdayaan karyawan dapat dipandang
sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, manajer tidak lagi menggunakan
pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja
dalam organisasi. Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan
dan teknologi yang memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan
membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Oleh karena konsep pemberdayaan dimulai
dari keyakinan bahwa orang pada dasarnya ingin mengerjakan pekerjaan baik,
manajer tidak perlu lagi menerapkan metode guna membujuk karyawan untuk
mengerahkan usaha mereka. Manajer harus memastikan bahwa karyawan memiliki
pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, dan manajer
harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan hambatan apa pun yang
mencegah terwujudnya kinerja unggul.
c.
Trust-based relationship. Pemberdayaan karyawan menekankan aspek
kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada karyawan. Dari pemberdayaan
karyawan, hubungan yang tercipta antara manajemen dengan karyawan adalah
hubungan berbasis kepercayaan (trust-based
relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada karyawan, atau
sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh karyawan melalui kinerjanya.
Dalam pendelegasian wewenang, manajer tingkat atas
memiliki wewenang karena posisinya (position-based
power) dan
kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada manajer yang lebih rendah
posisinya. Manajer yang lebih
rendah ini juga menerima wewenang karena posisinya, sehingga dia pun memperoleh
position-based power. Sedangkan
di dalam pemberdayaan karyawan, karyawan memperoleh wewenang bukan berdasarkan
posisinya, namun karena kinerjanya (performance-based
power). Tanpa kinerja, karyawan tidak akan mampu menumbuhkan
kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga trust-based
relationship tidak akan dapat terwujud.
Pemberdayaan dari Sudut Pandang Manajer
Pemberdayaan dari Sudut Pandang Manajer
Di dalam organisasi masa depan, yang di dalamnya knowledge
workers dominan dalam penciptaan produk dan jasa dengan menggunakan smart technology, manajer
perlu memandang karyawan sebagai sumber daya yang secara optimum mampu
memberikan kontribusi di dalam perwujudan visi organisasi. Agar dapat optimum,
manajer perlu mengubah mindset mereka
di dalam memandang karyawan, agar pas dengan smart technology yang digunakan oleh organisasi, serta
karakteristik pekerja dan pekerjaan mereka.
Menurut Mulyadi (2001: 162)
Keyakinan dasar yang perlu dimiliki oleh para manajer untuk mewujudkan mindset pemberdayaan karyawan adalah:
a. Karyawan
adalah manusia. Manajer harus memandang sisi
manusia dalam diri karyawan, bukan hanya dari sisi pekerjaannya, karena karyawan
adalah orang yang usahanya sangat menentukan sukses suatu perusahaan yang
membuat produk dan menyediakan jasa bagi customers. Setiap orang dipandang memiliki kemampuan
untuk memahami dan memberikan kontribusi dalam mewujudkan visi perusahaan.
Manajer harus memandang karyawannya sebagai orang dewasa yang pantas untuk
memikul tanggung jawab yang lebih besar atas pekerjaannya, atas pekerjaan
kelompoknya, dan akhirnya atas sukses perusahaan secara keseluruhan.
b. Orang pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa
orang pada dasarnya baik. Sebagai manusia yang berakal sehat dan makhluk yang
berpikir, orang memiliki kecenderungan alami untuk berhasil dalam pekerjaannya.
Manajer melakukan
pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada
karyawan, memberikan arah yang benar, dan membiarkan karyawan untuk mengerjakan
semua yang dapat dikerjakan oleh mereka. Manajer harus memastikan bahwa
karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan
mereka, dan ia harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan hambatan apa
pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
c. Birokrasi
membunuh inisiatif. Satu aspek organisasi yang
paling merusak pemberdayaan adalah berjenjangnya tingkat manajerial. Dalam
pemberdayaan karyawan, tanggung jawab atas pekerjaan dikembalikan ke tangan
karyawan. Dengan demikian karyawan memperoleh motivasi yang lebih besar terhadap
pekerjaan mereka, karena mereka bertanggung jawab atas pekerjaan mereka, dan
organisasi memperoleh penghematan signifikan dengan penghilangan jenjang
manajemen yang tidak menambah nilai bagi customer. Manajer harus mengidentifikasi aspek organisasi meskipun
kelihatannya efisien, mengajari karyawan untuk tidak mengerjakan, tidak
mencoba, dan tidak peduli tentang pekerjaan mereka.
d. Tugas manajer adalah
menyediakan pelatihan, teknologi, dan dukungan bagi karyawan. Manajer harus melihat karyawan yang memiliki
kesempatan yang harus dikembangkan dan diperluas untuk tujuan pemberian layanan
kepada customers”. Manajer bertanggung jawab
untuk menyediakan teknologi memadai dan pelatihan bagi karyawan untuk
memungkinkan mereka mengerjakan apa yang dapat mereka kerjakan. Di samping itu, manajer harus memberikan
dukungan selama proses perubahan karyawan dalam memikul tanggung jawab baru
ini. Jika manajer tidak memiliki kesediaan untuk
menerima kesalahan dan kegagalan, karyawan akan cenderung kembali ke cara kerja
lama yang telah dikenal sebelumnya.
Dalam banyak hal boleh jadi pemberdayaan adalah suatu hal yang
dirasa sulit oleh suatu organisasi. Pemberdayaan karyawan tentunya dapat
menimbulkan suatu perubahan secara besar –besaran dalam struktur yang telah
diterapkan selama ini. Organisasi harus bisa
menghilangkan kendala –kendala yang dapat mencegah macetnya
pemberdayaan, seperti birokrasi yang bertele – tele serta pengambilan keputusan
yang kurang pas. Sebuah pemberdayaan adalah upaya membongkar dan membangun kembali
struktur suatu oraganisasi ataupun perusahaan mulai dari nol.
Clutterbuck (2003:47) terdapat
struktur – struktur pemberdayaan yang pas untuk dibangun yaitu:
1. The Bull’s Eye
Menempatkan pelanggan di tengah dan membangun
organisasi diseputar kebutuhan – kebutuhan mereka. Mengesampingkan gagasan
tentang hirarki, dan sebagai gantinya menempatkan peran-peran sesuai dengan
arti pentingnya bagi custumer.
2. The Amoeba
Secara konstan mengubah bentuk eksternal dengan
membelah diri menjadi unit – unit kecil yang baru.
3. The Star
Teradopsi
oleh organisasi – organisasi yang melayani sejumlah kecil pelanggan yang sangat
penting. Organisasi ini
seakan menjadi organisasi klien/custumer mereka, seringkali bekerja di tempat custumer dan membangun organisasi-organisasi
mereka di seputar kebutuhan-kebutuhan custumer.
4. Organisasi Boundaryless
(Nirbatas)
Organisasi begitu responsive kepada pelanggan.
Begitu responsivnya seakan batas-batas antara custumer dan organisasi menjadi
begitu kabur sampai tidak ada artinya.
5. Organisasi Chemical Soup
Dalam
struktur yang relatif masih langka ini, tim-tim berevolusi untuk proyek-proyek
spesifik, kemudian luruh menjadi kombinasi-kombinasi baru sesuai dengan
kebutuhan.
Snyder (1994:112) menyebut bahwa untuk mewujudkan paradigma pemberdayaan karyawan,
perlu ditanamkan personal values dalam diri para manajer yang pas dengan
paradigma tersebut, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai:
a.
Kejujuran.
Manajer
dan karyawan harus mengatakan keadaan dan kondisi yang sebenarnya antar kedua
belah pihak. Manajer juga harus
memberikan informasi yang dimilikinya kepada karyawan untuk memungkinkan
karyawan mengambil keputusan secara efektif. Dalam pemberdayaan karyawan,
karyawanlah yang diberi tanggung jawab untuk pengambilan keputusan. Dengan menggunakan akses ke data yang sama, menggunakan alat
analisis yang sama, dan melakukan analisis yang sama sehingga keputusan bisa di
ambil. Hal ini sangat berbeda dengan manajemen tradisional. Pengambilan
keputusan serta pemikiran dilaksanakan oleh manajer, pembicaraan dilaksanakan
oleh supervisor, dan pelaksanaan
dilakukan oleh karyawan
b.
Kerendahan hati.
Pemberdayaan karyawan berarti pemberian tanggung jawab lebih besar
kepada karyawan untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, dapat terjadi
inisiatif karyawan jauh lebih baik dibandingkan yang dilakukan oleh manajer.
Kerendahan hati untuk mengakui kinerja karyawan harus merupakan suatu nilai
yang dijunjung tinggi oleh manajer, jika pemberdayaan karyawan dikehendaki
berhasil dalam suatu organisasi. Tugas manajer adalah membuat karyawan yang
berada di bawah wewenangnya menjadi terkenal karena kinerjanya. Tugas ini hanya
dapat dilakukan oleh manajer yang memiliki kerendahan hati.
Pendelegasian
Wewenang Versus Pemberdayaan Karyawan
Mulyadi
(2003:288) mengungkapkan bahwa secara sepintas pendelegasian wewenang hampir
sama dengan pemberdayaan karyawan. Sebenarnya jika dicermati, dua konsep
tersebut berbeda secara mendasar. Jika manajemen tidak memahami perbedaan
substansi kedua konsep tersebut, manajemen tidak akan mengambil manfaat optimum
dari konsep pemberdayaan karyawan, dan akan mengakibatkan manajemen cenderung
ke functional fixation.
Pemahaman
terhadap perbedaan mendasar di antara keduanya akan meningkatkan kompetensi
eksekutif dalam mengimplementasikan secara efektif program pemberdayaan
karyawan, sehingga potensi seluruh personel organisasi dapat secara optimum
dikerahkan untuk membawa maju organisasi dengan pesat.
Pendelegasian
Wewenang
Pada dasarnya organisasi perusahaan bukan merupakan organisasi
demokratis, karena kekuasaan yang berada di tangan manajemen puncak tidak
berasal dari manajer yang ada di bawahnya dan karyawan. Manajemen puncak tidak
dipilih oleh karyawan, namun dipilih oleh rapat umum pemegang saham (sebagai
lembaga yang menjadi forumnya para pemilik modal), dan oleh karena itu,
wewenang berasal dari lembaga tersebut. Wewenang kemudian didistribusikan oleh
manajemen puncak kepada manajer-manajer yang berada di bawahnya melalui
mekanisme pendelegasian wewenang.
Konsep Pendelegasian Wewenang
Delegasi
wewenang lebih ditujukan kepada manajer, bukan karyawan. Dalam organisasi
fungsional hirarkhis, pembagian kekuasaan (power distribution) hanya dilaksanakan di
kalangan manajer, tidak sampai kepada karyawan.
Pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang oleh manajer yang
lebih atas kepada manajer yang lebih rendah untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan
otorisasi secara eksplisit dari manajer pemberi wewenang pada waktu wewenang
tersebut akan dilaksanakan. Dari definisi pendelegasian wewenang tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa:
- Pendelegasian wewenang dilakukan dari manajer yang lebih tinggi posisinya ke manajer yang lebih rendah (bukan kepada karyawan).
- Manajer yang lebih rendah posisinya memerlukan otorisasi secara eksplisit dari manajer pendelegasi wewenang pada waktu akan melaksanakan wewenang yang telah didelegasikan kepadanya.
- Pemberian wewenang yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang masih bersifat setengah-setengah. Jika kepada manajer bawah saja manajer tingkat atas mendelegasikan/ wewenang secara setengah-setengah, dapat dibayangkan seberapa rendah tingkat kepercayaan manajemen tingkat atas kepada karyawan untuk pengambilan keputusan.
- Pendelegasian wewenang lebih menekankan pada aspek pengendalian dan kepatuhan daripada pemberian kebebasan dalam pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan tersebut. Pengendalian untuk menciptakan kepatuhan bawahan dilakukan oleh manajer jenjang lebih atas melalui tiga instrumen pengendalian, yaitu:
a.
Melalui otorisasi secara
eksplisit sebelum wewenang dilaksanakan oleh manajer yang lebih rendah,
b.
Melalui laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang yang dibuat oleh manajer tingkat yang
lebih rendah ke manajer pemberi wewenang,
c.
Melalui audit kinerja (performance audit) yang dilaksanakan oleh auditor intern.
Di dalam kondisi yang ekstrem, delegasi wewenang dapat berupa gofer
delegation, yaitu suatu
bentuk delegasi wewenang yang menuntut manajer penerima delegasi wewenang hanya
melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh pemberi wewenang.
Kondisi yang Cocok untuk
Pendelegasian Wewenang
Sistem
pendelegasian wewenang cocok diimplementasikan dalam kondisi berikut ini:
a.
Karyawan terdiri dari tenaga kerja
tidak terampil dan tidak terdidik. Di masa lalu, pekerjaan umumnya berupa
serangkaian tugas sederhana dan manual yang dilaksanakan oleh pekerja
tidak terampil dan tidak terdidik, sehingga pekerjaan semacam itu mudah diamati
pelaksanaannya. Atau yang dikenal sebagai organisasi hirarkis, yang mendasarkan
prinsip komando dan kepatuhan di dalam menjalankan organisasi yang cocok untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan manual, yang dilaksanakan oleh pekerja tidak
terampil dan tidak terdidik.
b.
Informasi tidak dapat diakses
oleh karyawan karena keterbatasan teknologi yang digunakan untuk mengolah data.
Di masa lalu, informasi diolah secara manual,
sehingga secara fisik, data dikumpulkan secara terpusat di suatu tempat (tentu
saja di bawah penguasaan manajemen tingkat atas) dan secara eksklusif pula
dimanfaatkan oleh manajemen tingkat atas. Dengan demikian, karena keterbatasan
teknologi pengolahan data ini, wajar jika setiap karyawan akan melaksanakan
pekerjaan, mereka memerlukan rantai otorisasi dari para manajer di atas mereka karena
di tangan manajer puncaklah informasi yang diperlukan berada.
c.
Lingkungan bisnis yang dihadapi
oleh perusahaan adalah stabil. Lingkungan bisnis yang stabil memberikan toleransi kepada panjangnya rantai
komando dalam pengambilan keputusan. Di dalam
lingkungan seperti itu, perubahan jarang terjadi, sehingga kecepatan
pengambilan keputusan bukan merupakan kebutuhan penting organisasi.
Kultur
yang Dihasilkan dari Sistem Pendelegasian Wewenang
Berkaitan dengan cultur, Mulyadi (2003:297)
mengemukakan bahwa sistem pendelegasian wewenang yang dikembangkan dalam
organisasi traditional membentuk kultur organisasi berikut ini:
- Membentuk pemimpin yang berpegang pada kedudukannya (position-based leadership), dan bergaya otoriter yang mengandalkan pada komando untuk memperoleh kepatuhan bawahan. Sistem pendelegasian wewenang menghasilkan pemimpin yang memiliki kekuasaan karena posisi yang didudukinya. Pemimpin seperti ini memiliki gaya kepemimpinan otoriter, yang mengandalkan komando untuk memperoleh kepatuhan dari bawahannya.
- Membentuk karyawan yang patuh, tidak
kreatif, dan tidak berinisiatif. Sistem pendelegasian wewenang
menghasilkan personel yang patuh terhadap perintah, dan karena
pengendalian yang diciptakan cenderung berlebihan, sistem ini juga
mengakibatkan karyawan tidak mempunyai inisiatif dan tidak kreatif.
- Menghasilkan hubungan berdasar ketidakpercayaan (distrust) antara manajer atas dengan manajer di bawahnya. Konsep pendelegasian wewenang menekankan aspek pengendalian dan tidak didasarkan pada trust dalam hubungan antara manajer yang lebih atas dengan manajer bawahannya. Distribusi wewenang dalam organisasi didasarkan pada power-based relationship dimana wewenang bersumber dari manajer tingkat atas, yang memiliki wewenang karena kedudukannya (position-basedpower). Manajer tingkat atas kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya (yang diperoleh karena posisinya tersebut) kepada manajer yang lebih rendah, sehingga terciptalah hubungan berbasis kekuasaan (power-based relationship) antara kedua manajer tersebut.
Prospek bagi
Karyawan
Di tempat kerja sekarang, seringkali pekerja memiliki pendidikan
lebih tinggi daripada manajernya, terutama di dalam perusahaan berteknologi
tinggi. Bahkan umumnya, pekerja memiliki pengetahuan lebih banyak mengenai
pekerjaannya dibandingkan dengan manajer mereka.
Oleh
karena itu, pandangan manajemen terhadap karyawan perlu di-up date. Pandangan
manajemen terhadap karyawan akan menentukan keberhasilan pengembangan potensi
karyawan. Pandangan terhadap karyawan yang mendukung usaha pemberdayaan
karyawan adalah:
- Orang adalah aktiva organisasi yang paling bernilai dan merupakan keunggulan kompetitif yang paling tinggi. Seberapa canggih teknologi yang dimanfaatkan oleh organisasi dan seberapa maju sistem yang digunakan oleh organisasi dalam menjalankan bisnis, kualitas produk dan jasa yang dihasilkannya sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Teknologi dan sistem yang canggih hanya akan produktif di tangan sumber daya manusia yang memiliki komitmen tinggi dan produktif. Oleh karena itu, perlu disadari oleh manajemen bahwa aktiva yang paling bernilai bagi organisasi perusahaan adalah sumber daya manusia.
- Gedung dan aktiva tetap lain akan mengalami depresiasi nilainya karena pemakaian, sementara orang memiliki kesempatan untuk bertumbuh dengan berlalunya waktu. Berbeda dengan aktiva tetap, sumber daya manusia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang selama dimanfaatkan dalam organisasi. Manusia memiliki potensi yang tidak terbatas jika orang menyadarinya dan menggali serta mengembangkan potensi tersebut. Jika manajemen mau dan mampu menyediakan lingkungan dan sistem untuk menyediakan kesempatan bagi karyawan dalam membangun potensi mereka selama bekerja, karyawan akan mencapai tingkat potensi optimum yang diperlukan oleh organisasi untuk maju.
Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya
karyawan adalah orang yang melakukan banyak pekerjaan yang sangat menentukan
dan bermakna bagi organisasi. Contoh pekerjaan yang
dilaksanakan oleh karyawan yang seringkali dipandang tidak bermakna oleh
manajemen tradisional: (1) melakukan interaksi dengan customers, (2) melakukan interaksi dengan pemasok, (3) melakukan
interaksi dengan mitra bisnis, (4) mengelola dan melakukan improvement terhadap
proses, (5) mengubah tuntutan customers ke dalam produk dan jasa.
Cara Pemberdayaan Karyawan
Reynolds
(1997:4) menyebut bahwa pemberdayaan karyawan pada dasarnya membentuk karyawan
yang produktif dan berkomitmen. Pemberdayaan karyawan berangkat dari keinginan
untuk menggali seluruh potensi yang terdapat dalam diri seiuruh karyawan untuk
diarahkan dalarn memajukan organisasi. Untuk menjadikan karyawan produktif,
karyawan harus memiliki kompetensi memadai dan produktivitas karyawan sangat ditentukan
oleh kualitas lingkungan kerja yang dibangun di dalam organisasi. Tanpa
lingkungan kerja berkualitas, karyawan dengan kompetensi tinggi tidak akan
produktif. Oleh karena itu, pemberdayaan karyawan pada hakikatnya merupakan
usaha untuk menjadikan karyawan produktif dan berkomitmen. Pemberdayaan
karyawan hanya dapat diwujudkan melalui:
a.
Pembangunan kompetensi karyawan
dan penyediaan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan kompetensi
karyawan.
b.
Pembangunan lingkungan kerja
berkualitas.
Karyawan
yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya memerlukan
lingkungan kerja yang menumbuhkan komitmen di dalam dirinya untuk menghasilkan
kinerja unggul. Kompetensi karyawan akan menghasilkan produk dan jasa
berkualitas di dalam lingkungan kerja yang kondusif, yaitu:
- Terdapat kepercayaan timbal balik (mutual trust) antara manajemen dengan karyawan.
- Terdapat komitmen karyawan terhadap misi, visi, core beliefs, dan core values organisasi.
- Kesediaan manajemen puncak untuk memberikan wewenang kepada karyawan untuk mengambil keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan,
- posisi (position-based
reward).
Dampak Positif Pemberdayaan Karyawan
Menurut Askenas et.all (1995:43) Pemberdayaan Karyawan paling tidak
memiliki dua dampak penting yaitu dampak terhadap struktur organisasi dan
terhadap sistem informasi manajemen.. Dampak pemberdayaan terhadap struktur organisasi adalah sebagai berikut:
a. Organisasi lebih mendatar. Jenjang organisasi dibangun untuk melaksanakan pengendalian
terhadap pelaksanaan wewenang yang didelegasikan kepada manajer dibawahnya.
Agar pengendalian jauh lebih efektif dalam diri karyawan ditumbuhkan self-imposed
control melalui pendidikan, pelatihan, dan penyediaan teknologi memadai
sehingga karyawan mampu mengambil keputusan berkualitas dan organisasi dapat mengurangi
kebutuhan pengendalian dari pihak lain. Jika karyawan memiliki kemampuan
seperti itu, fungsi manajer menengah menjadi tidak relevan, sehingga jenjang
manajer menengah dapat dihapus dari struktur organisasi sehingga biaya
pengoperasian organisasi menjadi berkurang secara drastis.
b. Arus informasi terutama ke
arah horisontal. Pemberdayaan karyawan menjadikan
karyawan mampu merencanakan, mengendalikan, dan mengambil keputusan atas
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian arus informasi
vertikal tidak lagi diperlukan oleh karyawan, karena karyawan dapat melakukan
akses ke pusat informasi dan dapat mengambil keputusan berkualitas atas
pekerjaannya. Dengan demikian, orientasi karyawan akan diarahkan ke horisontal,
karena di arah itulah customer berada dan ke arah itulah semestinya
semua kompetensi karyawan ditujukan.
c. Kecepatan pengambilan
keputusan, yang dapat dinikmati oleh customers. Pemberdayaan karyawan
meningkatkan kecepatan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh organisasi dalam
berhubungan dengan customers.
d. Berkurangnya distorsi
informasi. Rantai
komando yang terdapat di dalam sistem pendelegasian wewenang memiliki kelemahan
bawaan karena panjangnya rantai komando dan tingginya risiko terdistorsi
informasi yang dikomunikasikan. Pemberdayaan karyawan memotong rantai komando
tersebut, sehingga mengurangi secara signifikan risiko terdistorsinya informasi
yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan.
e. Komitmen karyawan untuk
melakukan improvement meningkat. Orientasi
karyawan ke sistem yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer
meningkatkan komitmen karyawan terhadap improvement terhadap sistem,
karena menimbulkan kesadaran bahwa customer-lah
yang menentukan kelangsungan hidup organisasi.
f. Pergeseran dari responsibility-at-the-top organization ke responsibility-based
organization.
Di dalam organisasi yang karyawannya telah diberdayakan,
tanggung jawab atas jalannya bisnis perusahaan dapat diserahkan sepenuhnya
kepada karyawan. Sehingga, organisasi berubah menjadi responsibility-based
organization (suatu
organisasi yang tanggung jawab atas jalannya bisnis berada di tangan setiap
orang dalam organisasi).
- Perubahan dari organisasi orang bayaran ke organisasi orang bisnis. Di dalam organisasi yang karyawannya telah diberdayakan, karyawan diberi wewenang untuk akses ke pusat informasi dan untuk mengambil keputusan bisnis yang menjadi tanggung jawabnya. Dan setiap keputusan bisnis yang mengandung risiko dan tanggung jawab untuk menanggung risiko bisnis tersebut, karyawan memperoleh penghargaan yang sepadan. Dengan demikian, karyawan yang berdaya menjadi pelaku-pelaku bisnis, bukan lagi sekadar orang bayaran (hired hands).
Dampak Pemberdayaan Karyawan
Terhadap Sistem Informasi Manajemen
Pemberdayaan
karyawan akan berdampak terhadap sistem informasi manajemen di bawah ini:
- Karyawan menjadi pemakai informasi untuk pengambilan keputusan. Di dalam manajemen kontemporer, pemakai informasi untuk pengambilan keputusan harian adalah karyawan. Bahkan keputusan-keputusan yang dipandang strategik di dalam manajemen tradisional, sekarang dapat dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, ahli desain sistem informasi manajemen perlu menyadari perubahan ini dan memasukkan perubahan ini ke dalam desain sistem informasinya.
- Informasi keuangan menjadi tipe informasi yang dibutuhkan oleh karyawan. Pemberdayaan karyawan melibatkan karyawan ke dalam keputusan-keputusan yang berdampak keuangan. Oleh karena itu, sistem informasi akuntansi perlu didesain sehingga karyawan dapat melakukan akses ke pusat informasi akuntansi untuk memungkinkan karyawan mempertimbangkan besarnya cost effective pekerjaan mereka di dalam menghasilkan value bagi customers.
Penutup
Secara
esensial, pemberdayaan karyawan dibutuhkan setiap individu, kelompok bahkan
setiap organisasi. Organisasi yang berkeinginan terus maju dan dapat melayani custumernya dengan baik haruslah
organisasi yang “luwes” mudah
beradaptasi dan menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan. Lingkungan organisasi
butuh pelayanan, pemeliharaan, dan kemakmuran, hanya karyawan yang berdaya
sajalah yang dapat melakukan itu semua. Karyawan yang berdaya tidak secara
tiba-tiba atau given mereka harus
dibentuk diproses oleh organisasi. Perlu membangun mindset manajemen
yang memberikan kesempatan luas bagi personalianya untuk tumbuh berkembang
sesuai dengan potensinya, talentanya, komptensinya, bukan lagi bergaya
birokrat, dan prosedur yang bertele-tele.
Banyak dampak positip dari pemberdayaan karyawan ini dampak yang palng mudah
dirasakan adalah, karyawan merasa dipercaya, dihargai, kepuasan kerja mudah
dirasakan oleh setiap karyawan komitmen kerja tak lagi masalah bagi organisasi.
Yang lebih penting adalah dengan pemberdayaan karyawan akan terjadi peningkatan kualitas SDM secara simultan, sehingga produktivitas kerja akan semangkin meningkat.
Mari kita berdayakan karyawan kita.
Yang lebih penting adalah dengan pemberdayaan karyawan akan terjadi peningkatan kualitas SDM secara simultan, sehingga produktivitas kerja akan semangkin meningkat.
Mari kita berdayakan karyawan kita.
Reference:
Heru S ; Membangun Pemberdayaan Karyawan dalam Organisasi
Muhtar Hadi, 2011. Pemberdayaan Karyawan
dll
Terimakasih pak atas ilmu yang diberikan. Semoga bisa bermanfaat bagi semua untuk meningkatkan SDM di Indonesia.
BalasHapus